Minggu, 25 Desember 2011


tugas kuliah (harmadi-derasid.blogspot.com)

IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR PENEMUAN DALAM PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE PEMECAHAN MASALAH

(Suatu Studi di Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Lais Musi Banyuasin pada Pokok Bahasan Ketenagakerjaan)

Oleh Harmadi

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Setiap manusia pada dasarnya ingin mengembangkan dirinya agar dapat lebih bermakna baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Selain itu manusia juga mempunyai tujuan hidup atau cita-cita. Untuk mencapai tujuan itu maka salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan jalan memperoleh pendidikan. Pendidikan merupakan upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan, sikap, keterampilan dan sebagainya. Mudyahardjo (1998:3-6) mengartikan pendidikan sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Ia juga mendefinisikan pendidikan dalam arti sempit, pendidikan merupakan pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.

Dari pengertian itu mengandung makna bahwa pendidikan itu dilakukan dengan sengaja dan buka tiba-tiba atau tanpa disadari. Berarti adanya kesengajaan dari peserta didik dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan usaha pendidikan itu seperti guru, lembaga pendidikan, kurikulum dan sebagainya. Pendidikan juga dilakukan dengan proses yang melibatkan unsur-unsur tersebut. Sehubungan dengan itu berarti pendidikan dapat disebut sebagai proses transformasi budaya, proses pembentukan pribadi, proses penyiapan warga negara, dan sebagai penyiapan tenaga kerja (Tirtarahardja dan La Sulo, 2005:33-35).

Untuk dapat melakukan proses transformasi budaya, pembentukan pribadi, proses penyiapan warga negara, dan penyiapan tenaga kerja dan proses yang lainnya maka perlu dilakukan suatu kegiatan yang juga merupakan suatu proses yaitu belajar dan pembelajaran. Pembelajaran merupakan inti dari kegiatan pendidikan. Suatu pendidikan tidak dapat disebut sempurna apabila pembelajaran tidak mendapat perhatian. Suatu pembelajaran bukanlah sekedar menyampaikan bahan ajar kepada siswa, tetapi lebih dari itu. Begitu pula belajar bukanlah sekedar menerima bahan ajar dari guru tetapi belajar memiliki tujuan yang luas. Belajar diharapkan mencapai lima pilar belajar seperti yang digariskan di dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) seperti berikut ini:

a. belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

b. belajar untuk memahami dan menghayati,

c. belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,

d. belajar untuk hidup bersama, dan berguna bagi orang lain, dan

e. belajar uintuk membangun dan menemukan jati diri.

Dengan demikian belajar menempati posisi yang strategis dalam pencapaian tujuan pendidikan. Untuk itu perlu dikaji bagaimana suatu proses pembelajaran yang baik dan dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Pengkajian mengenai belajar dan pembelajaran merupakan pengkajian yang cukup luas. Keluasan pengkajian ini meliputi pengertian belajar, tujuan belajar, teori-teori belajar, gaya belajar, kreteria keberhasilan belajar, evaluasi belajar, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, model pembelajaran, dan masih banyak lagi. Untuk melakukan pengkajian tersebut maka perlu dibahas satu per satu. Salah satu yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah teori belajar dan model pembelajaran. Dengan membahas teori belajar dan model pembelajaran ini diharapkan akan dapat diketahui teori-teori yang dapat diimplementasikan dalam pembelajaran dan bagaimana model pembelajarannya.

Banyak teori belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli seperti teori belajar behavior, teori belajar kognitif, teori belajar sosial, teori belajar konstruktif dan sebagainya. Namun teori-teori belajar tidak akan semua digunakan dalam suatu proses pembelajaran yang sama, tetapi disesuaikan dengan tujuan yang diiginkan dari kegiatan pembelajaran itu atau sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut. Penerapan teori belajar behavior mungkin tidak akan sesuai dengan tujuan pembelajaran pemahaman atau sikap, begitu pula teori belajar kognitif mungkin tidak sesuai untuk diterapkan pada tujuan pembelajaran keterampilan atau motorik. Jadi dalam hal ini diperlukan ketelitian di dalam memilih teori belajar itu dan langkah-langkah dalam penerapannya. Untuk dapat teliti dalam memilih suatu teori belajar maka perlu pemahaman secara detail mengenai teori belajar itu sesungguhnya. Begitu pula dengan model pembelajaran yang begitu banyak, namun model cooperative learning merupakan model pembelajaran yang cocok untuk mata pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) seperti yang dikemukan oleh Solihatin dan Raharjo (2007:6).

Sehubungan dengan itu penulis mencoba untuk mengupas salah satu teori belajar dan mencoba mengimplemetasikannya dalam suatu pembelajaran. Salah satu teori belajar yang dikaji dalam makalah ini adalah teori belajar kognitif yang dikembangkan oleh Bruner yang terkenal dengan teori penemuan (discovery learning) Pemilihan teori belajar ini disebabkan oleh adanya kesesuaian antara teori belajar penemuan dan model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning). Kesesuaian yang dimaksud adalah secara teoritis yang dikemukakan ahli kognitif (Bruner) bahwa teori penemuan sebaiknya dilakukan dengan problem solving atau pemecahan masalah, dan problem solving itu terdapat dalam pembelajaran kooperatif, sedangkan pembelajaran kooperatif sangat cocok untuk pembelajaran IPS. Dengan demikian keterkaitan tersebut menarik perhatian penulis untuk mengkajinya secara mendalam. Dengan adanya pengkajian, pengupasan teori belajar penemuan dan model pembelajaran diharapkan akan dapat menjadi masukan untuk menambah wawasan kependidikan dan kemungkinan pengimplementasiannya dalam pembelajaran.

2 .Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana cara mengimplementasikan teori belajar penemuan dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan menggunakan model pembealajaran kooperatif tipe pemecahan masalah.

3. Tujuan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui cara mengimplementasikan teori belajar penemuan pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe pemecahan masalah.

4. Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini adalah

  1. untuk menambah wawasan berfikir, bersikap dan berprilaku ilmiah khususnya dalam bidang kependidikan.
  2. untuk menambah wawasan ilmu kependidikan khususnya teori belajar kognitif.

5. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan ini, maka pembahasan disusun sebagai berikut:

a. pengertian belajar

b. ciri-ciri belajar

c. macam-macam teori belajar

d. teori belajar kognitif

e. implikasi teori belajar penemuan

f. pembelajaran kooperatif

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Belajar

Beberapa para ahli telah mengemukakan pengertian belajar. Cronbach dalam Zaini dan Muhaimi (1991:1) mengatakan : ”Learning is shown by a change in behavior as result of experience”. Menurutnya belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Pendapat lain dikemukakan oleh Harold Spears dalam Rokhman (2004:3) adalah sebagai berikut: “ Learning is to observe, to reade, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction. Menurutnya belajar dilakukan dengan mengamati, membaca, menirukan, mencoba, mendengarkan, mengikuti petunjuk dan pengarahan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Geoch dalam Rokhman (2004:3) : “Learning is change in performance as a result of practice”. Menurutnya belajar adalah perubahan penampilan sebagai hasil praktik. Bell-Gredler dalam Winataputra (2007:1.5) mengemukakan pengertian belajar sebagai suatu proses yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan aneka ragam kemampuan (competencies), keterampilan (skill), dan sikap (attitude).

Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi atau dialami oleh seseorang berupa perubahan prilaku dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat melakukan menjadi dapat melakukan, dari tidak mempunyai sikap hingga mempunyai sikap, sebagai akibat dari pengalaman yang dilaluinya dan sebagai penambahan atau perluasan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dengan mengetahui pengertian belajar ini maka dapat pula dirumuskan ciri-ciri dan jenis-jenis belajar.

2. Ciri-ciri Belajar

Dari definisi di atas maka ciri-ciri belajar nampak seperti berikut ini (Winataputra, 2007: 1.9). Pertama, belajar harus memungkinkan terjadinya perubahan prilaku pada diri individu atau peserta didik pada semua aspek, baik itu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Kedua, perubahan itu harus merupakan buah dari pengalaman. Maksudnya perubahan prilaku itu bukan secara tiba-tiba tanpa disadari oleh seseorang atau peserta didik. Pengalaman ini berupa interaksi fisik yaitu interkais seseorang terhadap lingkungannya. Selain itu pengalaman juga berupa interaksi psikis, misalnya seseorang akan menyadari untuk tidak sembarang berkendaraan di jalan setelah ia melihat orang yang tidak tertib berkendaraan mengalami kecelakaan, atau misalnya keluarnya air liur saat mencium bau masakan, ini bukanlah hasil dari belajar. Ketiga, perubahan itu relatif menetap atau relatif permanen. Artinya apa yang diperoleh dari belajar akan cukup lama dikuasai atau diingat seseorang. Oleh sebab itu seorang atlit yang dapat melompat setinggi mungkin setelah minum obat tidak dapat disebut hasil belajar, karena hasilnya tidak menetap. Artinya kemampuannya meloncat tinggi hanya karena minum obat, bukan karena dari belajar. Dengan mengetahui ciri-ciri belajar maka kita dibedakan antara perubahan prilaku sebagai hasil dari belajar dan perubahan prilaku yang bukan hasil belajar.

3. Macam-macam Teori Belajar

Dari berbagai macam teori belajar yang telah dikemukakan para ahli, namun ada beberapa macam saja yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini yaitu sebagai berikut (Winataputra, 2007:2.1):

1. teori belajar behavioristik,

2. teori belajar kognitif,

3. teori belajar sosial.

4. Teori belajar konstruktif

Menurut teori belajar behavioristik belajar merupakan perubahan tingkah laku hasil interaksi antara stimulus dan respons, yaitu proses manusia untuk memberikan respons tertentu berdasarkan stimulus yang datang dari luar. Teori belajar ini menekankan pada hasil belajar berupa perubahan tingkah laku yang dapat dilihat dan tidak memperdulikan apa yang ada di dalam otak pembelajar. Beberapa para ahli yang membahas teori ini adalah Ivan Petrovich Pavlov (teori Classical Conditioning), John B. Watson (teori Behaviorism), dan Thorndike (connectionism). Selain itu ada yang lain yang mengembangkan teori behavioristik ini yaitu Clark Hull (teori Sistem Prilaku), Edwin Guthrie (teori Contiguity), B.F. Skinner (teori Operant Conditioning), William Estes (teori Stimulus Sampling), Ebbinghause (teori Human Associative Learning).

Sedangkan menurut teori belajar kognitif belajar bukan hanya perubahan prilaku yang dapat dilihat tetapi merupakan suatu yang kompleks yang dipengaruhi oleh kondisi mental siswa yang tidak tampak (Winataputra, 2007:3.1). Teori belajar ini lebih banyak memandang segi psikologis pembelajar dibandingkan hasil belajar yang nampak. Beberapa para ahli telah mengembangkan teori belajar kognitif ini seperti Bruner yang terkenal dengan ”belajar penemuan” (discovery); Ausubel yang terkenal dengan ”belajar bermakna” atau ”belajar penerimaan” (reception); Piaget dengan ”teori perkembangan intelektual” ; Gagne dengan ”fase-fase belajar” atau ”pemrosesan informasi”.

Dua teori belajar di atas berbeda dengan teori belajar sosial, teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura lebih menekankan pada faktor sosial. Belajar yang berkaitan dengan faktor sosial ini maksudnya adalah belajar yang dilakukan melalui observasi terhadap dunia sosial, melalui pemahaman terhadap dunia tersebut, melalui penguatan atau hukuman terhadap reaksi dalam dunia tersebut (Winaputra, 2007:4.3). Dapat juga dikatakan bahwa teori belajar sosial menginginkan cara belajar dengan mencontoh prilaku orang lain yang ada di lingkungan pembelajar dengan memperhatikan pemahaman dan kemampuan diri si pembelajar. Ada enam prinsip dalam teori bealajar sosial seperti yang dikemukakan oleh Winataputra (2007:4.7) yaitu : 1. Prinsip faktor-faktor yang saling menentukan, 2. Kemampuan berbuat atau memahami simbol atau tanda atau lambang, 3. Kemampuan berpikir ke depan, 4. Kemampuan untuk seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami orang lain, 5. Kemampuan mengatur diri sendiri, dan 6. Kemampuan untuk berefleksi.

Belajar menurut teori belajar konstruktivisme adalah sebagai proses merekonstruksi pengetahuan melalui proses internal seseorang dan interaksi dengan orang lain. Dalam pandangan konstruktivisme hasil belajar dipengaruhi oleh tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya serta sektor internal dirinya seperti konsep diri dan percaya diri dalam belajar (Winataputra, 2007:6.15) . Ada dua pendapat yang mengemukakan tentang dasar-dasar teori belajar konstruktif yaitu Piaget dan Vygotsky. Menurut Piaget proses berpikir melibatkan dua jenis proses yang berhubungan yaitu mengorganisasikan dan mengadaptasi atau merubah informasi atau pengetahuan. Dalam mengorganisasikan pengetahuan seseorang memilah pengetahuan yang penting dan yang tidak penting atau mana konsep yang utama dan mana yang merupakan penjabarannya. Pengetahuan yang telah diorganisasi ini selanjutnya diadaptasi dengan pengetahuan yang sudah ada sehingga tersusunlah suatu pengetahuan baru bagi dirinya. Inilah yang disebut proses konstruktif secara individual atau konstruktivisme individual. Sedikit berbeda dengan Vygotsky, ia memandang bahwa seseorang yang merekonstruksi pengetahuan juga dapat dibangun secara sosial. Seseorang yang terlibat dalam suatu interaksi sosial dapat memberikan sumbangan dan membangun makna atau pengetahuan. Hasil belajar yang berasal dari rekonstruksi seperti ini beragam sesuai dengan konteks kulturalnya. Inilah yang disebut konstruktivisme sosial.

4. Teori belajar penemuan (discovery learning) dan implikasinya dalam

pembelajaran IPS

Sebelum mengartikan teori belajar penemuan maka perlu dipahami bahwa untuk mengimplementasikan teori belajar kognitif dalam pembelajaran ada beberapa cara yaitu seperti berikut ini (Djiwandono, 2002:158-173):

  • strategi mengajar, yaitu usaha guru utuk membantu siswa agar menaruh perhatian pada pelajaran dengan mengidentifikasi kesulitan siswa, membangkitkan kembali informasi yang sudah diterima dan menghubungkannya dengan pengetahuan baru,
  • strategi untuk membantu siswa mengingat, yaitu usaha guru untuk membantu siswa agar mudah mengingat atau menghafal materi pelajaran yang memang seharusnya dihafal,
  • kemampuan metakognitif yaitu pengetahuan yang berasal dari proses kognitif siswa sendiri beserta hasil-hasilnya. Ketika anak-anak berkembang, mereka menjadi lebih cermat dalam pengertian bagaimana mengontrol dan memonitor belajar mereka sendiri, bagaimana menggunakan bahasa, dan sebagainya,
  • model pengajaran menurut teori kognitif, yaitu ada beberapa model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif seperti Jerome S. Bruner yang terkenal discovery learning, David Ausubel yang terkenal dengan expository teaching, Robert Gagne dengan fase-fase bealajarnya, dan Piaget dengan cognitif development.

Uraian Djiwandono di atas mengingatkan kita untuk memahami pandangan Bruner tentang belajar. Bruner menggambarkan bahwa orang yang berpengetahuan itu sebagai seseorang yang terampil dalam memecahkan masalah, artinya ia berinteraksi dengan lingkungannya untuk dapat memecahkan masalah yang ada (Gredler, 1994:99). Beberapa pokok pedoman dari Djiwandono di atas menghantarkan kita untuk mengetahui lebih jauh teori belajar discovery learning. Teori belajar penemuan atau disebut juga discovery learning merupakan teori belajar yang dikemukakan oleh Jerome S. Bruner dalam Winataputra (2007:3.13). Menurutnya manusia itu sebagai pemeroses, pemikir dan pencipta informasi. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan, termasuk konsep, teori, definisi dan sebagainya melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya (Uno, 2005:12). Selain itu menurutnya belajar adalah cara-cara bagaimana seseorang memilih, mempertahankan, dan mentransformasikan informasi yang diterimanya secara aktif.

Dari uraian di atas maka belajar penemuan adalah belajar dengan cara mengidentifikasi suatu masalah yang selanjutnya dicarikan pemecahannya atau jalan keluarnya dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematis.

Bruner membagi tiga macam proses kognitif yaitu sebagai berikut (Winataputra, 2007:3.13).

  1. proses perolehan informasi baru; yaitu suatu perolehan informasi dari hasil membaca, mendengar, melihat dan sebagainya,
  2. proses transformasi; yaitu suatu proses memperlakukan informasi yang sudah diterima dengan cara menganalisnya dan mengubahnya menjadi suatu informasi yang dapat digunakan sesuai tujuan atau kebutuhan, dan
  3. menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan; pengujian ini dimaksudkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari.

Dari pandangan di atas maka tampak bahwa manusia menduduki posisi penting sebagai pelaku utama dalam mendapatkan suatu informasi melalui temuan-temuan yang selanjutnya dianalisis menjadi informasi atau pengetahuan yang berguna. Sehubungan dengan itu maka Bruner mengadakan pendekatan model belajar pada dua anggapan yaitu perolehan pengetahuan yang merupakan proses interaktif antara si pembelajar dengan lingkungannya, dan pengkonstruksian pengetahuan dengan cara menghubungkan informasi yang tersimpan dengan informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Dengan dua anggapan inilah maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran penemuan dapat dilakukan atau memenuhi syarat, yaitu interaktif dengan lingkungan atau objek yang sedang diselidiki atau dipermasalahkan yang kemudian informasi yang didapat itu dianalisis atau dicerna yang selanjutnya menjadi temuan baru.

Dari uraian di atas berarti dalam pembelajaran seorang guru perlu membuat kondisi belajar yang bernuansa problematis, merangsang siswa untuk berpikir, menjawab pertanyaan-pertanyaan, memecahkan masalah, bahkan melakukan eksperimen. Dengan demikian manfaat yang dapat diperoleh siswa adalah mereka dapat mengembangkan pemikirannya, melatih kognitifnya dengan cara menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapinya.

Manfaat lain dari belajar penemuan ini menurut Winataputra (2007:3.18) adalah

a. belajar penemuan dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah bermakna atau belum,

b. pengetahuan yang diperoleh siswa akan tersimpan lama dan mudah diingat,

c. belajar penemuan sangat diperlukan dalam pemecahan masalah sebab yang diinginkan,

d. transfer dapat ditingkatkan setelah generalisasi ditemukan sendiri oleh siswa,

e. penggunaan belajar penemuan mungkin mempunyai pengaruh dalam menciptakan motivasi belajar,

f. belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara beba,.

Untuk dapat mengimplementasikan belajar penemuan, Winataputra telah menyusun tahap-tahap seperti berikut ini.

1. Stimulus, yaitu merangsang siswa dengan suatu masalah atau pertanyaan dan mendorongnya atau menganjurkannya untuk mencari jawabannya di dalam buku atau mempersiapkan pemecahan masalah tersebut.

2. Problem Statement, yaitu kegiatan mengidentifikasi masalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan bahan pelajaran, kemudian merumuskannya dalam bentuk hipotesis.

3. Data Collection, yaitu kegiatan pengumpulan data dengan memberikan kesempatan kepada siswa mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-banyaknya uintuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis tersebut.

4. Data Processing, yaitu mengolah data yang telah diperoleh melalui wawancara, observasi dan lain-lain.

5. Verifikasi, yaitu kegiatan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis yang telah ditetapkan.dan dihubungkan dengan hasil dan pengolahan data.

6. Generalisasi yaitu mengadakan penarikan kesimpulan untuk dijadikan prinsip umum yang berlaku untuk semua kejadian atau maslah yangsama dengan mmperhatikan hasil verifikasi.

Langkah-langkah di atas ternyata merupakan langkah-langkah penelitian ilmiah. Walaupun bukan suatu penelitian, tetapi karena ada masalah yang harus dipecahkan maka lengkah-langkahnya seperti diterangkan di atas. Langkah-langkah di atas memang sebaiknya dilakukan semua dalam pembelajaran namun ada kemungkinan langkah-langkah itu dapat disederhanakan sesuai luas tidaknya masalah yang akan dipecahkan.

Apabila dibuatkan secara singkat maka langkah-langkah di atas dapat dilakukan seperti ini:

1. Adanya suatu masalah yang harus dipecahkan atau dicarikan jalan keuarnya

atau jawabannya,

2. Pengumpulan informasi dan penganalisisan,

3. Verifikasi dan

4. Kesimpulan.

Sehubungan dengan pembelajaran yang dilakukan dengan pengimplementasian teori penemuan maka Winataputra (2007:3.18) memberikan suatu masukan kepada guru-guru seperti berikut ini.

Dalam menerapkan metode belajar penemuan ini, seorang guru dianjurkan untuk tidak memberikan materi pelajaran secara utuh. Siswa cukup diberikan konsep utama, untuk selanjutnya siswa dibimbuing agar dapat menemukan sendiri sampai akhirnya dapat mengorganisasikan konsep tersebut secara utuh. Untuk itu guru perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mendapatkan konsep seluas-luasnya kepada siswa untuk mendaparkan konsep-konsep yang belum disampaikan oleh guru dengan pendekatan problem solving. (garis miring tebal oleh penulis)

Jadi secara jelas ia menganjurkan untuk menggunakan pendekatan problem solving dalam melakukan pembelajaran yang berimplementasikan teori belajar penemuan. Pembicaraan mengenai problem solving merupakan pembicaraan yang berkaitan dengan pembelajaran kooperatif atau Cooperative Learning.

5. Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan pembelajaran yang akhir-akhir ini mulai dilirik dalam dunia pendidikan terutama pengajar atau guru. Dalam pembelajaran kooperatif diperlukan diskusi kelompok untuk memecahkan masalah atau mengerjakan sesuatu. Kelompok-kelompok diskusi bekerja sama atau berinteraksi sedemikian rupa di dalam kelompoknya sehingga tercapai tujuan yang diinginkan. Tanggung jawab setiap kelompok sangat diutamakan, dengan kata lain senasib sepenanggungan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru.

Slavin dalam Solihatin dan Raharjo (2007:4) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Dalam kelompok inilah siswa akan berinteraksi satu sama lain, dan ini akan menimbulkan kerja sama yang pada akhirnya menghasilkan rasa bersama dan beban akan menjadi berkurang Pembelajaran tipe ini diharapkan dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan kuaitas belajarnya.

Solihatin dan Raharjo (2007:6) mengatakan bahwa pembelajaran dengan cara pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang cocok untuk mata pelajaran IPS, karena selain proses belajarnya yang efektif, juga akan terbina nilai-nilai kegotong-royongan, kepeduian sosial, saling percaya, bersedia menerima dan memberi dan tanggungjawab baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap kelompoknya. Belajar berkelompok seperti itu merupakan miniatur masyarakat yang diterapkan dalam kehidupan di kelas yang akan melatih siswa untuk mengembangkan dan melatih mereka menjadi anggota masyarakat yang baik. Dengan demikian sudah tepat sekali kalau membelajarkan IPS menggunakan pembealajaran kooperatif karena IPS merupakan suatu ilmu yang terdiri dari bidang kajian geografi, ekonomi, sejarah dan sosiologi yang selalu berkaitan dengan kehidupan masyarakat, tempat tinggalnya dan permasalahannya.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan dengan mengelompokkan siswa untuk membahas, menjawab atau mencari solusi dari suatu masalah atau tugas yang diberikan dengan cara diskusi kelompok, bekerjasama, saling bertanggungjawab, gotong royong dan senasib sepenanggungan.

Untuk dapat melakukan pembelajaran kooperatif maka harus dipenuhi unsur-unsur seperti berikut ini Rokhman (2004:18).

  1. Siswa dan kelompoknya beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama.
  2. Siswa bertanggung jawab terhadap kelompoknya seperti milik mereka sendiri.
  3. Siswa harus melihat bahwa anggota dan kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
  4. Siswa harus membagi tugas kepada sesama anggota.
  5. Siswa dikenakan evaluasi atau hadiah/ penghargaan dan juga untuk semua kelompoknya.
  6. Siswa berbagi kepemimpinan untuk belajar bersama.
  7. Siswa bertanggung jawab secara individu terhadap materi yang ditangani dalam kelompok.

Dari butir-butir tersebut di atas tampak bahwa pembelajaran kooperatif bukan kelompok diskusi biasa tetapi suatu kelompok diskusi yang mempunyai tanggung jawab bersama terhadap tugas atau masalah yang diberikan. Selain itu jelas pula manfaat yang diambil dari pembelajaran kooperatif.

Manfaat pembelajaran kooperatif dikemukakan oleh Ibrahim (2000:6) seperti di bawah ini.

  1. Meningkatkan kemampuan untuk bekerja sama dan bersosialisasi.
  2. Melatih kepekaan diri.
  3. Mengurangi rasa kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya diri.
  4. Meningkatkan motivasi belajar, harga diri dan sikap prilaku yang positif, sehingga dengan pembelajaran kooperatif siswa akan tahu kedudukannya dan belajar untuk menghargai satu sama lain.
  5. Meningkatkan prestasi belajar dengan menyelesaikan tugas akademik, sehingga dapat membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit.

Dari butir-butir di atas maka terlihat bahwa manfaat pembelajaran kooperatif memiliki manfaat ganda, yaitu di satu sisi untuk meningkatkan pemahaman atau kognitif siswa, dan di sisi lain untuk meningkatkan nilai-nilai sosial siswa. Nilai-nilai sosial seperti kesetiakawanan, gotong royong, tanggung jawab bersama, dan sebagainya.

Ada beberapa tipe pembelajaran kooperatif (Lie, 2002:54-70) yaitu sebagai berikut:

    1. mencari pasangan (make a match),
    2. bertukar pasangan,
    3. berpikir, berpasangan, berempat,
    4. berkirim salam dan soal,
    5. kepala bernomor,
    6. kepala bernomor terstruktur,
    7. dua tinggal dua tamu,
    8. keliling berkelompok,
    9. kancing gemerincing,
    10. keliling kelas,
    11. lingkaran kecil lingkaran besar,
    12. tari bamboo,
    13. jigsaw, dan
    14. bercerita berpasangan.

Selain itu Rokhman (2004:19) mengemukakan bahwa ada lima tipe pembelajarn kooperatif yaitu seperti berikut ini:

  1. jigsaw,
  2. numbered heads together,.
  3. group to group exchange,
  4. decision making, dan
  5. problem solving.

Dari uraian di atas maka tampak bahwa problem solving merupakan salah satu tipe dalam pembelajaran kooperatif. Problem solving atau pemecahan masalah merupakan suatu bentuk cara belajar aktif yang mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir dan bertindak secara logis, kreatif dan kritis untuk memecahkan masalah (Rokhman, 2004:23). Menurutnya dengan pemecahan masalah akan dapat mengembangkan cara berpikir dan memecahkan masalah yang dijumpai sehari-hari baik di lingkungan tempat tinggal siswa ataupun di lingkungan yang lebih luas. Selain itu siswa akan mampu menghadapi tantangan baru yang muncul dalam kehidupan masa depan. Dengan adanya diskusi untuk memecahkan masalah, siswa akan m,endapatkan bekal untuk menangani masalah, merumuskan masalah dan memilih alternatif pemecahannya.

Berbicara tentang manfaat problem solving ini, Jonassen (2004) mengatakan sebagai berikut: “ Because people need to learn how to solve problems in order function in their everyday and professional lives. No one in the everyday world gets paid for memorizing facts and taking exams. Most people get paid for solving problems.”

Apa yang dikatakan Jonassen ada benarnya, berarti belajar memecahkan masalah adalah penting, apalagi dikaitkan dengan pengetahuan social yang begitu kompleks dan beragam, yang bahkan orang-orang sanggunp membayar hanya untuk sebuah pemecahan masalah. Untuk itu pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe problem solving merupakan cara yang tepat.

Menurut Rokhman (2004:23), langkah-langkah pemecahan masalah adalah sebagai berikut:

  1. informasi tujuan dan perumusan masalah,
  2. secara klasikal tayangkan gambar atau wacana permasalahan yang sesuai dengan materi pelajaran,
  3. buatlah pertanyaan agar siswa dapat merumuskan permasalahan sesuai dengan gambar dan wacana yang disajikan,
  4. secara kelompok siswa diminta mengidentifikasikan permasalahan dan membuat alternatif pemecahannya,
  5. secara berkelompok atau individual siswa diminta mengidentifikasikan permasalahan yang terdapat di lingkungan sekitar siswa yang sesuai dengan materi yang dibahas dengan cara pemecahannya,
  6. secara kelompok atau individu siswa diminta mencari penyebab terjadinya masalah tersebut, dan
  7. secara berkelompok atau individual siswa diminta mengemukakan tindakan untu mencegah terjadinya masalah tersebut.

Untuk dapat melaksanakan langkah-langkah pemecahan masalah tersebut tentunya tidak terlepas dari peranan guru dalam suatu pembelajaran tersebut. Dalam beberpa literatur masih tercetak kata ”mengajar” yang sebenarnya adalah sama dengan pembelajaran. Menurut Dale dalam Hasan (2007:181) mengatakan bahwa mengajar adalah sebagai upaya membantu siswa menjadi mandiri dan arsitek masa depannya sendiri yang penuh tantangan dan harapan. Sedangkan Hasan (2007:182) mengemukakan bahwa mengajar adalah suatu interaksi di kelas yang terjadi antara guru, peserta didik dan materi pelajaran dalam satu lingkungan bealajar tertentu melalui proses yang diperkuat dan diperkaya oleh aplikasi teknologi untuk mencapai tujuan.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa mengajar atau pembelajaran adalah suatu proses transformasi ilmu dan pengetahuan dari seorang guru kepada siswa melalui cara dan alat tertentu guna mencapai tujuan pendidikan. Pemahaman interaksi dan guru ini menjadi penting karena kegiatan pembelajaran tidak dapat sempurna apabila tidak adanya kehadiran guru. Di dalam proses pembelajaran inilah adanya proses interaksi bealajar yang juga melibatkan proses psikologis. Ini penulis kemukakan mengingat belajar penemuan dan pemberalajaran kooperatif memerlukan guru sebagai fasilitator.

Dari uraian di atas nampaknya ada kaitan antara model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dengan pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas menjadi penting karena berkaitan dengan pola tempat duduk dan sebagainya. Lie (2002:38-52) mengatakan bahwa dalam pengelolaan kelas untuk pembelajaran kooperatif perlu memperhatikan beberapa hal seperti pengelompokkan, semangat cooperative learning dan penataan ruang kelas.

Pengelompokkan siswa hendaknya dilakukan dengan menggabungkan siswa secara heterogen artinya dari berbagai kemampuan siswa dan bukan dari siswa yang berlatar bealakang akademis yang sama (homogen). Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat berinteraksi dan berpengalaman dalam keberagaman serta munculnya tutor sebaya yang akan berbagi informasi tentang materi pelajaran. Selain dari itu perlu juga memperhatikan semangat belajar dalam pembelajaran kooperatif. Untuk itu siswa perlu memahami bahwa kelompok mereka adalah kelompok yang solid atau setia kawan dan bekerja secara gotong royong untuk kepentingan kelompok, bahkan perlu pula identitas kelompok seperti nama, yel-yel dan sebagainya.

Sebagai tindak lanjut dari uraian di atas adalah penataan ruang kelas. Penataan ruang kelas perlu mendapat perhatian. Salah satunya adalah penataan bangku atau tempat duduk. Penataan tempat duduk dilakukan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan model pembelajaran atau jenis diskusi yang akan dilakukan. Dengan penataan ruang kelas, diharapkan dapat menjadikan proses pembelajaran lebih terarah dan mempermudah perolehan pengetahuan.

Sebutan untuk kelompok pun menjadi perhatian guru. Hendaknya guru menamai kelompok diskusi itu bukan dengan sebutan kelompok I, II, dan III. Pemberian nama kelompok disesuaikan dengan istilah-istilah yang ada dalam mata pelajaran IPS seperti Produsen, Konsumen, Distributor, Produksi, Konsumsi, dan Distribusi dan nama-nama lainnya.

Untuk lebih dapat menggambarkan bagaimana prosedur pembelajaran kooperatif maka kita dapat melihat mekanisme pembelajaran kooperatif nampak seperti berikut ini (David Hornby dalam Solihatin dan Raharjo, 2007:12)


Dari skema Hornby di atas pemberian hadiah menjadi penting untuk membangkitkan motivasi belajar pada kelompok yang disebut terbaik dalam perolehan hasil diskusi dan presentasi dan juga kelompok lainnya yang belum memenuhi kreteria baik. Pemberian hadiah ini juga tidak menyebutkan istilah terbaik, kurang baik, tetapi semuanya baik, caranya kelompok peringkat I disebut Unggul, peringkat II disebut Hebat, kelompok peringkat III disebut Baik, ini merupakan cara agar tidak ada kelompok yang merasa tersisihkan oleh sebutan kategori tersebut. Banyak cara untuk memberikan hadiah, misalnya permen, pensil, pena, kalung medali kertas, mahkota karton dan sebagainya.

Dari uraian di atas maka penulis menyimpulkan langkah-langkah yang dapat dilakukan di dalam pembelajaran kooperatif tipe pemecahan masalah adalah seperti berikut ini.

1. Guru membagi siswa yang ada menjadi beberapa kelompok (4 atau 5 setiap kelompok.

2. Guru memberikan informasi seputar materi pelajaran secara umum dan tata kerja kelompok dalam pembealajaran.

3. Guru memberikan masalah berupa gambar, wacana atau apa saja baik dengan LKS atau lainnya.

4. Siswa berdiskusi secara kooperatif dalam kelompoknya dan menuangkan hasilnya pada selembar kertas.

5. Hasil kerja kelompok dipresentasikan dengan cara menuliskan hasilnya di papan tulis atau cara lainnya dan menerangkan kepada kelompok lain hasil temuan mereka, sedangkan kelompok lain memberikan tanggapan, pendapat atau masukan lainnya.

6. Guru mengklarifikasi hasil diskusi dan mengadakan refleksi..

7. Siswa menyimpulkan materi pelajaran dengan bimbingan guru.

8. Pemberian penghargaan kepada kelompok terbaik.

C. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Untuk dapat mengimplementasikan teori penemuan dalam pembelajaran IPS maka guru dapat memilih pembelajaran kooperatif tipe pemecahan masalah (problem solving) sebagai model dalam pelaksanaan pembelajaran. Model pembelajaran tersebut merupakan suatu model yang cocok untuk menunjang teori penemuan, karena tipe pemecahan masalah sebetulnya merupakan suatu tipe pembelajaran yang mengajak siswa memecahkan persoalan yang dihadapi.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengimplementasikan teori belajar penemuan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe pemecahan masalah (problem solving) adalah seperti di bawah ini.

  1. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok.
  2. Guru menyampaikan materi pelajaran secara umum dan teknik diskusi.
  3. Guru memberikan suatu masalah dalam LKS atau lainnya untuk dicarikan jawabannya atau pemecahan masalahanya sehingga siswa mendapatkan suatu penemuan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
  4. Siswa berdiskusi secara kooperatif dalam kelompoknya dengan cara mencari data melalui literatur atau lainnya yang selanjutnya dianalisis sehingga memperoleh suatu hasil pemecahan masalah.
  5. Hasil kerja kelompok yang berupa temuan tersebut dipresentasikan dengan cara menuliskan hasilnya di papan tulis atau cara lainnya dan menerangkan kepada kelompok lain hasil temuan mereka, sedangkan kelompok lain memberikan tanggapan, pendapat atau masukan lainnya.
  6. Guru mengklarifikasi, mengapresiasi dan merefleksi presentasi dan diskusi.
  7. Siswa menyimpulkan materi pelajaran dengan bimbingan guru.
  8. Pemberian penghargaan kepada kelompok-kelompok terbaik.
  9. Pemberian tugas sebagai umpan balik.

Sedangkan tahap-tahap dalam pembelajaran dalam pemecahan masalah sebagai berikut:

1. stimulus, yaitu merangsang siswa dengan suatu masalah atau pertanyaan dan mendorongnya atau menganjurkannya untuk mencari jawabannya di dalam buku atau mempersiapkan pemecahan masalah tersebut.

2. problem statement, yaitu kegiatan mengidentifikasi masalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan bahan pelajaran, kemudian merumuskannya dalam bentuk hipotesis.

3. data collection, yaitu kegiatan pengumpulan data dengan memberikan kesempatan kepada siswa mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-banyaknya uintuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis tersebut.

4. data drocessing, yaitu mengolah data yang telah diperoleh melalui wawancara, observasi dan lain-lain.

Saran

Kegiatan belajar dan pembelajaran merupakan kegiatan yang melibatkan unsur utama yaitu manusia pembelajar, guru, dan sumber belajar, oleh sebab itu di dalam kegiatan pembelajaran disarankan kepada guru agar selalu berusaha mencari, belajar terus, dan mencoba cara pembelajaran yang terbaik bagi pembelajar sehingga tercapainya hasil belajar yang masksimal.

Cara pembelajaran yang terbaik seperti di atas maksudnya adalah pembelajaran yang menggunakan model, teori belajar, psikologi belajar yang sesuai dengan materi pelajaran, karakteristik pembelajar, serta fasilitas yang mendukung.

D. DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas.

-----------2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas.

Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia

Widiasarana Indonesia.

Gredler, Margaret E. Bell. 1994. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: PT. Raja

Grafindo.

Hasan, Hamid S. 2007. Teori Mengajar (Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press.

Jonassen, David H. 2004. Learning to Solve Problems an Instructional design duide. San Fransisco:Pfeiffer.

Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia

Rokhman, Nur, dkk. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi: Pengetahuan Sosial Buku 5. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Solihatin, Hj. Etin, Raharjo. 2007. Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS. Jakarta: Bumi Aksara.

Tirtarahardja, Oemar, dan La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta

Uno, Hamzah B. 2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Winataputra, Udin S. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional.

Zaini, Syakhminan dan Muhaimi. 1991. Belajar sebagai Sarana Pengembangan Fitrah Manusia. Jakarta: Radar Jaya Offset.

Lampiran

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan : SMP Negeri 2 Lais Musi Banyuasin

Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

Kelas/Semester : VIII/ II

Standar Kompetensi : 7. Memahami Kegiatan Perekonomian Indonesia

Kompetensi Dasar : 7.1. Mendeskripsikan permasalahan angkatan kerja dan tenaga kerja sebagai sumber daya dalam kegiatan ekonomi, serta peranan pemerintah dalam upaya penanggulangannya.

Alokasi Waktu : 2 x 40 menit

1. Tujuan Pembelajaran Khusus (Indikator):

  • Setelah melakukan diskusi siswa dapat membedakan pengertian bekerja penuh, setengah pengangguran, angkatan kerja dan bukan angkatan kerja minimal 80% benar.
  • Setelah melakukan diskusi siswa dapat merumuskan 2 cara meningkatkan mutu tenaga kerja Indonesia dengan benar.
  • Setelah melakukan diskusi siswa dapat merumuskan 2 cara mengatasi persebaran tenaga kerja yang tidak merata dengan benar.

2. Materi Pembelajaran

Kegiatan Pokok Ekonomi: a. Pengertian tenaga kerja dan angkatan kerja

b. Cara meningkatkan mutu tenaga kerja Indonesia.

c. Cara mengatasi persebaran tenaga kerja yang tidak

merata.

3. Metode Pembelajaran

Pembelajaran ini menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe problem solving dengan menggunakan metode diskusi.

4. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran

a. Pendahuluan

Untuk mengawali pembelajaran guru melakukan:

  • administrasi : mengecek kehadiran siswa dan mengisi buku harian kelas.

§ apersepsi : menghubungkan materi Tenaga Kerja Indonesia dan materi sebelumnya yaitu pranata sosial.

§ motivasi : bertanya kepada siswa tentang pekerjaan orang tua siswa dan beberapa jenis pekerjaan serta kondisi ketenagakerjaan sekarang ini. Selain itu pula menginformasikan teknik diskusi yang akan dilakukan.

b. Kegiatan inti:

Kegiatan inti meliputi

  • Siswa dikelompokkan menjadi beberapa 7 kelompok dan setiap kelompok diberi tugas LKS (Lembar Kerja Siswa) yang berisi suatu permasalahan yang harus dipecahkan bersama atau ditemukan bersama melalui diskusi.
  • Setelah pada batas waktu tertentu, siswa secara berkelompok atau melalui wakilnya mempresentasikan atau menuliskan di papan tulis hasil kerja kelompok mereka.
  • Siswa dapat memberikan komentar, saran atau pertanyaan atas nama kelompok kepada kelompok yang mempresentasikan.
  • Guru mengapresiasi dan mengklarifikasi diskusi dan presentasi.

  1. Penutup:

  • Siswa menyimpulkan materi pembelajaran dengan bimbingan guru
  • Siswa diberi tugas untuk dikerjakan di rumah.

6. Sumber/ Media / Alat Penbelajaran

  • Buku IPS: Kosim. 2006. Ekonomi untuk SMP Kelas VIII. Bandung: Grafindo Media Pratama.
  • Buku IPS: Nurhadi, Suyanto. 2004. Ekonomi untuk SMP Kelas VIII. Jakarta: Erlangga.
  • Lembar Kerja Siswa
  • Papan dan alat tulis.

7. Penilaian

Penilaian dilakukan dengan memberikann tugas untuk dikerjakan secara individu di rumah berbentuk uraian berstruktur seperti di bawah ini.

  1. Apakah yang dimaksud dengan bekerja penuh, setengah pengangguran, angkatan kerja, dan bukan angkatan kerja ?
  2. Tulislah 2 cara meningkatkan mutu tenaga kerja di Indonesia !
  3. Tulislah 2 cara mengatasi persebaran tenaga kerja yang tidak merata !

Mengetahui, Guru Mata Pelajaran,

Kepala Sekolah,

------------------- -----------------------------

LEMBAR KERJA SISWA

(LKS)

Mata Pelajaran : IPS Kelas/ Semester : VIII/ II

Tujuan Pembelajaran : Setelah melakukan diskusi

siswa dapat membedakan pengertian bekerja penuh,

setengah pengangguran, angkatan kerja dan bukan

angkatan kerja. Kelompok : I dan II


Alat dan bahan: Buku paket IPS Ekonomi Kelas VIII, Grafindo.

Petunjuk : Bacalah empat macam masalah berikut ini dan diskusikan

dengan temanmu dan jawab pertanyaan di bawahnya serta

presentasikanlah.

Masalah:

1. Budi adalah seorang pemuda berusia 18 tahun, lulusan SNMA. Ia tidak

kuliah karena tidak ada biaya. Ia ingin bekerja dengan mencari pekerjaan

ke sana ke mari, tetapi ia belum mendapatkan pekerjaan dan ia masih

menganggur.

2. Rudi adalah anak lulusan SD berusia 13 tahun. Ia tidak melanjutkan ke

SMP karena tidak ada biaya. Orang tuanya menyuruh ia mencari pekerjaan,

tetapi ia belum mendapat pekerjaan dan sekarang masih menganggur.

3. Beni, S.P. ialah seorang sarjana pertanian. Ia baru lulus sarjana dan belum

mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan ilmunya. Ia bekerja sebagai sopir

angkutan kota.

4. Fauzan, S.E. ialah seorang yang bekerja 8 jam per hari. Ia bekerja sesuai

dengan keahliannya dan mendapatkan upah lebih tinggi dari UMR (Upah

Minimum Regional). Jam kerjanya lebih dari 40 jam per minggu.

Pertanyaan:

Dari keempat orang di atas, manakah yang termasuk:

a. Bekerja penuh (full time).

b. Setengah pengangguran.

c. Angkatan kerja.

d. Bukan angkatan kerja.

LEMBAR KERJA SISWA

(LKS)

Mata Pelajaran : IPS Kelas/ Semester : VIII/ II

Tujuan Pembelajaran : Setelah melakukan diskusi

siswa dapat membedakan pengertian bekerja penuh,

setengah pengangguran, angkatan kerja dan bukan

angkatan kerja. Kelompok : III dan IV


Alat dan bahan: Buku paket IPS Ekonomi Kelas VIII, Grafindo.

Petunjuk : Bacalah teks berikut ini dan diskusikan dengan

temanmu dan jawab pertanyaan di bawahnya serta

presentasikanlah.

Masalah:

Pertumbuhan tenaga kerja Indonesia meningkat drastis. Hal ini dapat dilihat dari data statistik bahwa pada tahun 2000 jumlah angkatan kerja 97,7 juta orang dan 93,92% dari mereka telah bekerja. Namun masih ada yang belum mempunyai pekerjaan karena baru tamat sekolah, mereka ada yang tergolong angkatan kerja yaitu 77,7% berpendidikan di bawah SMP, 44,43% tamat SMA dan Perguruan Tinggi.

Pada tahun 2000 juga ada 10 juta orang yang masih menganggur terbuka yaitu 48,27% dari mereka yang berpendidikan rendah, dan 7,93% berpendidikan tinggi. Besarnya angkatan kerja yang ada tidak sebanding dengan daya serap tenaga kerja. Berkemungkinan lapangan kerja yang ada tidak ccok atau tidak sesuai dengan keahlian pencari kerja. Sudah tentu mutu tenaga kerja Indonesia sangat rendah, untuk itu perlu peningkatan mutu tenaga kerja Indonesia. (diambil dari Buku IPS Ekonomi Kelas VIII, Grafindo, dengan perubahan seperlunya).

Pertanyaan: Bagaimanakah cara meningkatkan mutu tenaga kerja Indonesia.

LEMBAR KERJA SISWA

(LKS)

Mata Pelajaran : IPS Kelas/ Semester : VIII/ II

Tujuan Pembelajaran : Setelah melakukan diskusi

siswa dapat membedakan pengertian bekerja penuh,

setengah pengangguran, angkatan kerja dan bukan

angkatan kerja. Kelompok : V dan VI


Alat dan bahan: Buku paket IPS Ekonomi Kelas VIII, Grafindo.

Petunjuk : Bacalah teks berikut ini dan diskusikan dengan

temanmu dan jawab pertanyaan di bawahnya serta

presentasikanlah.

Masalah:

Sebagian penduduk Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa (lebih dari 59%). Pada tahun 2000 kepadatan penduduk DKI Jakarta mencapai 13.000 penduduk per kilometer. Sedangkan papua dan Maluku hanya 5 penduduk per kilometer. Papua dan Maluku memiliki luas 25% dari luas total Indonesia. Apabila tidak diatasi maka akan terjadi penumpukan tenaga kerja di Jawa dan Madura. (diambil dari Buku IPS Ekonomi Kelas VIII, Grafindo, dengan perubahan seperlunya).

Pertanyaan:

Bagaimanakah cara mengatasi persebaran penduduk yang tidak merata ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger